Sesungguhnya dalam perkembangan hidupnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengoleksi sebaik-baik keistimewaan yang dimiliki oleh lapisan masyarakat kala itu. Beliau adalah tipe ideal dari sisi kejernihan berpikir dan ketajaman pandangan. Beliau memiliki porsi kecerdikan yang lebih, orisinilitas pemikiran dan ketepatan sarana dan tujuan. Diamnya yang panjang, Beliau gunakan untuk merenung yang lama, memusatkan pikiran serta memantapkan kebenaran. Dengan akalnya yang subur & fithrahnya yang suci, Beliau memonitor lembaran kehidupan, urusan manusia & kondisi banyak kelompok. Karenanya, Beliau tidak mengacuhkan segala bentuk khurafat & menjauhkan diri dari hal itu. Beliau berinteraksi dengan manusia secara bashirah (penuh pertimbangan) terhadap urusannya dan urusan mereka. Mana urusan yang baik, Beliau ikut berpartisipasi di dalamnya dan jika tidak, Beliau lebih memilih untuk mengasingkan diri. Beliau tidak pernah minum khamar, tidak pernah makan daging yang dipersembahkan kepada berhala, tidak pernah menghadiri hari-hari besar berhalaisme ataupun pesta-pestanya bahkan dari sejak masa kanak-kanaknya sudah menghindari sesembahan yang batil tersebut. Lebih dari itu, tidak ada sesuatu pun yang paling dibencinya selain hal itu bahkan saking bencinya, Beliau tidak dapat menahan diri bila mendengar sumpah dengan nama Lata dan Uzza.[1]
Tidak dapat disangkal lagi bahwa berkat takdir Ilahi-lah, Beliau diliputi penjagaan dari hal tersebut. Manakala hawa nafsu menggebu-gebu untuk mengintai sebagian kenikmatan duniawi dan rela mengikuti sebagian tradisi tak terpuji, ketika itulah Inayah Rabbaniyyah menyusup dan menghalanginya dari melakukan hal-hal tersebut.
|Baca juga: Membangun Ka’bah
Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, dia berkata, “Ketika Ka’bah direnovasi, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abbas mengangkuti bebatuan, lalu Abbas berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Gantungkan kainmu ke atas lehermu agar kamu tidak terluka oleh bebatuan’, namun Beliau tersungkur ke tanah karena kedua mata beliau menengadah ke langit, tak berapa lama kemudian Beliau baru tersadar, sembari berkata, ‘Mana kainku, mana kainku!’ Lalu Beliau mengikat kembali kain tersebut dengan kencang. (Shahih al-Bukhari, bab Bunyanil Ka’bah, 1/540). Dalam riwayat yang lain disebutkan, “Maka setelah itu, aurat Beliau tidak pernah lagi terlihat.” (Shahih al-Bukhari, disertai Syarah al-Qasthalani).
Di kalangan kaumnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memilliki keistimewaan dalam tabiat yang baik, akhlak yang mulia dan sifat-sifat yang terpuji. Beliau merupakan orang yang paling utama dari sisi muru’ah (penjagaan kesucian & kehormatan diri), paling baik akhlaknya, paling agung dalam bertetangga, paling agung sifat bijaknya, paling jujur bicaranya, paling lembut wataknya, paling suci jiwanya, paling dermawan dalam kebajikan, paling baik dalam beramal, paling menepati janji serta paling amanah sehingga Beliau dijuluki oleh mereka sebagai Al-Amin. Semua itu karena pada diri Beliau terkoleksi kepribadian yang shalih & pekerti yang disenangi. Akhlak Beliau adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Ummul Mukminin, Khadijah radhiyallahu ‘anha, “Engkau adalah orang yang memikul beban si lemah, memberi nafkah si papa (orang yang tidak memiliki apa-apa), menjamu para tamu dan selalu menolong dalam upaya penegakan segala bentuk kebenaran.”(Shahih Al-Bukhari, hal. 3)
Kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum masa kenabian adalah mulia dan gemilang. Beliau semenjak masa kecil hidup dalam akidah yang benar, tidak terpengaruh dengan akidah & moral jahiliyah, walaupun dikelilingi oleh agama dan budaya. Beliau selalu Lestari dalam keistimewaannya:
Beliau menghina patung-patung yang disembah oleh kaumnya itu. Beliau mengetahui bahwa patung-patung tersebut tidak bisa mendatangkan manfaat dan mudharat. Suatu hari, Beliau bersama maula-nya (mantan budaknya) Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu dan ada patung bernama Isaf dan Nailah. Patung-patung itu diusap oleh orang-orang musyrik bila mereka tawaf. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan tawaf, Zaid berkata, “Saya pun tawaf bersamanya, setelah saya melewatinya, maka saya pun mengusap patung itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Jangan sentuh!‘ Saya berkata pada diri saya, Saya akan tetap menyentuhnya hingga saya lihat apa yang terjadi. Kemudian saya tetap mengusapnya. Rasulullah bersabda, ‘Bukankah kamu telah saya larang?‘ Demi Allah yang telah memuliakannya dan menurunkan risalah kepadanya, Beliau tidak pernah menyentuh patung hingga Allah memuliakannya dan menurunkan Al-Kitab kepadanya”.[2]
Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Saya telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Saya tidak pernah berniat melakukan sesuatu pada zaman jahiliyah dari keinginan untuk mendengarkan hiburan nyanyian, kecuali 2 malam yang kedua-duanya Allah menjaga saya dari menyaksikannya. Suatu malam, saya berkata kepada teman saya sesama penggembala kambing, “Tolong jaga kambing-kambing saya, saya ingin masuk ke kota Makkah untuk menyaksikan hiburan seperti anak-anak muda lainnya menyaksikan”. Kawan saya itu berkata, “Silakan”. Maka saya masuk (kota Makkah), hingga ketika saya sampai di rumah pertama dari rumah-rumah Makkah saya mendengar ada suara ‘azf (nyanyian dan musik). Saya bertanya, “Ada apa?” Maka dikatakan kepadaku, “Fulan menikah dengan fulanah”. Akhirnya saya duduk, maka Allah pun menutup pendengaran saya dan membuat saya tertidur dan tidak terjaga, kecuali setelah sinar matahari pagi menerpa diri saya. Kemudian saya kembali kepada kawan saya. Dia bertanya kepada saya, “Apa yang kamu saksikan?” Saya berkata, “Saya tidak melakukan apa-apa”, Kemudian saya ceritakan kejadiannya. Pada malam berikutnya, saya berkata lagi kepadanya, “Tolong jaga kambing saya, saya akan menyaksikan hiburan musik di Makkah”. Setelah saya tiba di Makkah saya mendengar seperti apa yang saya dengar pada malam itu, lalu saya bertanya. Lalu dikatakan kepada saya, “Fulan menikah dengan fulanah”, Akhirnya saya duduk melihat dan Allah pun menutup pendengaran saya. Demi Allah, saya tidak terjaga dari tidur, kecuali setelah sinar matahari pagi menyengat badan saya. Kemudian saya kembali kepada teman saya, dia bertanya kepada saya, “Apa yang kamu telah lakukan?”, saya berkata, “Saya tidak melakukan apa-apa.” Kemudian saya ceritakan kejadiannya. Demi Allah, setelah itu, saya tidak pernah lagi ingin menyaksikan pertunjukan dan saya tidak pernah mengulanginya hingga Allah memuliakan saya dengan kenabian.”[3]
Jubair bin Muth’im berkata, “Pada hari Arafah, unta saya tersesat, maka saya mencarinya dan saya melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri bersama manusia di Arafah”. Saya berkata, “Beliau dari kelompok Hums (Quraisy), mengapa beliau berkumpul di sini (di Arafah bersama manusia. Mengapa tidak bersama Hums di Muzdalifah sana)?“[4]
Yang demikian itu karena orang-orang Quraisy wuquf di Muzdalifah pada hari Arafah dan tidak mau keluar dari tanah haram menuju Arafah bergabung bersama jama’ah lainnya sebagai bentuk sikap tampil beda. Kejadian itu menunjukkan bimbingan Allah kepada Nabi-Nya dengan memberinya taufiq untuk berdiri di tempat yang benar sebelum masa kenabian.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dikenal dengan kejujurannya, tidak pernah sekali kesempatan pun didapati Beliau berbohong. Hal itu dibenarkan tatkala Beliau naik ke Shafa’ kemudian memanggil manusia, yaitu setelah mereka bertanya siapa yang memanggil dan mengetahui bahwa dia itu adalah Muhammad, kemudian setelah mereka berkumpul, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Bagaimanakah pandangan kalian kalau saya berkata bahwa pasukan berkuda akan muncul dari lereng gunung sana, apakah kalian mempercayai saya?” Mereka semua berkata, “Kami belum pernah menemukan kamu berbohong”. Beliau berkata, “Saya adalah pemberi peringatan yang diutus kepada kalian sebelum datangnya hari pembalasan yang pedih”.[5] Mereka di sini, di depan banyak manusia berkata, “Kami tidak pernah mendengar kamu berbohong, kamu dikenal sebagai orang yang tepercaya semenjak kecil”.
“Hikmah & Pelajaran”
- Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki karakteristik kemanusiaan yang sempurna. Beliau adalah anak muda seperti anak muda lainnya. Beliau bersosialisasi dengan masyarakat dan bekerja sama dengannya. Beliau merasakan seperti yang dirasakan oleh anak muda lainnya, dan jiwanya memiliki kecenderungan seperti kecenderungan anak muda lainnya dalam masalah yang lumrah.
- Bahwa Allah Ta’ala telah menjaganya dari segala fenomena yang miring, selain ma’shum dengan cara mendapatkan wahyu beliau juga telah dijaga dari kesalahan oleh Allah Ta’ala dari kehendak nafsunya atau dari tekanan masyarakatnya, hingga beliau terhindar dari pelanggaran itu sebelum terjadi atau sebelum tersentuh.
- Beliau telah hidup pada masa mudanya dengan akhlak yang terpuji, fitrah yang bersih, jauh dari sentuhan berhala, kemusyrikan, dan khurafat, hingga dia tumbuh dan besar dengan suci bersih, dan terkenal dengan sifat jujur dan amanah. Semua itu sebagai pengantar menuju risalah kenabian yang akan diembannya.
- Adanya sifat-sifat terpuji itu dalam diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan ‘inayah ilahiyyah (bimbingan Allah), dan eratnya kaitan sifat-sifat tersebut dengan kenabiannya shallallahu ‘alaihi wa sallam, menunjukkan kepada kita tentang pentingnya akhlak tersebut bagi seorang da’i. Oleh karena itu, keistiqamahan da’i dan penjagaannya untuk selalu jujur dan berakhlak mulia adalah sangat penting dalam rangka menjadikan manusia simpati kepadanya, sehingga tidak menemukan pendengki atau pengkritik yang mencibirnya dengan sesuatu dari masa lalunya (Lihat As-Siba’i, As-Sirah An-Nabawiyah, pelajaran dan hikmah, hal. 39-40).
- Sebenarnya mudah bagi Allah untuk melahirkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kondisi tanpa adanya keinginan seperti kebiasaan anak muda dari sendau gurau, menganggap enteng masalah aurat. Namun, bila itu terjadi, maka bisa saja dipahami bahwa itu adalah sebuah tindakan menjauh dari masyarakat dan termasuk sisi kelemahan sebagai seorang manusia biasa. Lain halnya bila kecenderungan seperti itu memang ada dalam benak sanubarinya, tetapi terjaga dari melakukannya. Di situlah akan nampak keistimewaan kepribadiannya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Ulama mengingkari kebenaran riwayat yang mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyaksikan masyahid (pertunjukan-pertunjukan, acara-acara) orang-orang musyrik bersama mereka. Para ulama mengatakan itu tidak benar.
Qadhi ‘Iyadh rahimahullah juga menolak bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah terlibat dalam kejahilian bersama dengan kaumnya melalui pendekatan dalil akal. Dia berkata, “Sesungguhnya Quraisy telah melemparkan segala bentuk rekayasa kepada Nabi kita, dan para umat sebelumnya telah mencemoooh para Nabi-nabi mereka dengan segala bentuk penghinaan yang mungkin mereka lakukan. Itu semua kita dapatkan berdasarkan nash dan riwayat yang telah sampai kepada kita. Namun, tidak satu pun dari bentuk penghinaan yang mereka lemparkan berindikasi mengingatkan para Nabi itu tentang masa lalunya. Seandainya para Nabi mereka telah pernah melakukan itu kemudian setelah menjadi Nabi, mereka melarangnya, maka pastilah para kaum itu akan mengungkit kembali. Karena mereka berdiam dari hal itu, maka ini menunjukkan bahwa para nabi tidak pernah melakukannya. Karena kalau mereka sendiri sebelum menjadi Nabi telah melakukannya, maka pastilah kaum mereka mengungkitnya dan tidak mendiamkannya, sebagaimana kaum Nabi Muhammad yang kafir mengungkit masa lalu mengenai perubahan Kiblat, mereka berkata, “Apa yang menyebabkan mereka menghadap ke Ka’bah dan berpaling dari apa yang mereka telah lakukan?” (Al-Qurthubi, Al-Jami’ Liahkami Al-Qur’an, 16/57, lihat Sulaiman bin Hamad Al-Audah, masalah dan pembahasan tentang sirah, hal. 165). - Apa yang terjadi pada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bersama pamannya Al-Abbas radhiyallahu ‘anhu tatkala meletakkan sarung di atas pundaknya kemudian terjatuh setelah itu, menunjukkan adanya penjagaan Allah terhadapnya semenjak kecil. Ibnu Hajar berkata, “Ibnu Ishak menyebutkan pada masa kenabian, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti yang diberitakan kepada saya telah terjadi pada dirinya bentuk penjagaan Allah semenjak kecil…”.[4] kemudian dia menyebutkan kisahnya.
FOOT NOTES:
[1] Lihat Sirah Ibnu Hisyam, 1/128; Tarikh ath-Thabari, op.cit., 2/161; Tahdzib Tarikh Dimasyq, 1/373, 376.
[2] Al-Baihaqi, Dalail An-Nubuwwah, 2/34, Ibnu Katsir, Al-Bidayah Wan-Nihayah, 2/288, lihat As-Sirah An-Nabawiyah Kama Ja’at Fil Ahadits As-Shahihah, As-Shuyani, hal.46, dia berkata, ‘Hadits Hasan’.
[3] Al-Baihaqi, Dalail An-Nubuwwah, 2/34, lihat Ibnu Katsir, Al-Bidayah Wan-Nihayah, tahqiq at-Turki, 3/447, Ibnu Katsir berkomentar; Hadits ini Gharib, dan bisa saja dari Ali sendiri, dan ujung haditsnya adalah “hingga Allah memuliakan saya dengan kenabian……” As-Syami, Subululhuda, 2/200, Dia berkata, ‘Diriwayatkan oleh Ibnu Ishak, Ishak bin Rahawaih, Al-Bazzar, Ibnu Hibban, Al-Hafizh berkata, ‘Sanadnya Hasan dan bersambung, dan Al-Hakim dalam kitabnya Al-Mustadrak, 4/254, Dia berkata, ‘Hadits Shahih sesuai dengan syarat Muslim, Adz-Dzahabi mendukungnya. Al-Haitsami dalam Al-Majma, 8/226, berkata, ‘Diriwayatkan oleh Al-Bazzar dan perawinya adalah tsiqat, Al-Albani melemahkannya dalam kitabnya, Difa’ ‘Anilhadits An-Nabawi Was-Sirah Firraddi ‘Ala Jahalati Al-Buthi Fifiqhi As-Sirah, (Membela Hadits dan Menolak Kebodohan Al-Buti dalam Kitab Fikih As-Sirah) hal.13,14. lihat Muhammad As-Shuyani, As-Sirah An-Nabawiyah Kama Ja’At Fil Ahadits As-Shahihah, hal.38,39, Dia mengatakan hadits ini Hasan.
[4] Shahih Al-Bukhari bersama Al-Fathu, 3/515, hadits nomor 1664. Kitab Al-Haj, Bab Al-Wuquf Biarafah, Shahih Muslim, Kitab, Al-Haj, 2/894, hadits nomor 1220. Orang Quraisy dijuluki dengan Al-Hums, mereka sengaja tidak mau wuquf di Arafah karena anggapan keluarga Allah tidak boleh keluar dari wilayah haram, makanya mereka berdiri di Muzdalifah saja dan yang lain di Arafah. Ibnu Hajar, Fathu Al-Bari, 3/516.
[5] Shahih Al-Bukhari bersama Al-Fathu, 8/337 hadits nomor 4471, kitab at-Tafsir, bab surat Tabbat Yada Abi Lahab.
Diringkas dari Sumber Buku:
– Ar-Rahiq al-Makhtum (Sirah Nabawiyah Perjalanan Hidup Rasul yang Agung Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, edisi revisi); Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri (Penerbit Darul Haq, Jakarta).
– Fikih Sirah Nabawiyah; Prof. Dr. Zaid bin Abdul Karim Az-Zaid (Penerbit Darus Sunnah, Jakarta)
Nantikan Episode selanjutnya ya. in syaa Allah kita semua diberi rizki umur dalam keberkahan. Aamiin. Mari bersholawat atas Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mari mempelajari perjalanan hidup suri teladan kita Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
The Habaib – Media Islam dan Kajian Online
Artikel atau Video dapat Follow | Like | Subscribe | Share
📷Instagram: @thehabaib
📲 Telegram : @thehabaib
📑 Facebook: thehabaib
▶️ Youtube: thehabaib