fbpx

Di Gua Hira’

Tatkala usia beliau sudah mendekati 40 tahun dan perenungannya terdahulu telah memperluas jurang pemikiran antara diri beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan kaumnya, beliau mulai suka mengasingkan diri. Karenanya, beliau biasa membawa roti gandum & bekal air menuju Gua Hira’ yang terletak di Jabal Nur, yaitu sejauh hampir 2 mil dari Makkah. Gua ini merupakan gua yang sejuk, panjangnya 4 hasta, lebarnya 1.75 hasta dengan ukuran dzira’ al-Hadid (hasta ukuran besi). Beliau tinggal di dalam gua tersebut bulan Ramadhan, memberi makan orang-orang miskin yang mengunjunginya, menghabiskan waktunya dalam beribadah dan berpikir mengenai pemandangan alam di sekitarnya dan kekuasaan yang menciptakan sedemikian sempurna di balik itu. Beliau tidak dapat tenang melihat kondisi kaumnya yang masih terbelenggu oleh keyakinan syirik yang usang & gambaran tentangnya yang demikian rapuh, akan tetapi beliau tidak memiliki jalan yang terang, manhaj yang jelas ataupun jalan yang harus dituju, yang berkenan di hatinya dan disetujuinya.

Pilihan mengasingkan diri (uzlah) yang diambil oleh beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam ini merupakan bagian dari tadbir (skenario) Allah terhadapnya. Juga, agar terputusnya kontak dengan kesibukan-kesibukan duniawi, goncangan kehidupan dan ambisi-ambisi kecil manusia yang mengusik kehidupan menjadi sebagai suatu perubahan, untuk kemudian mempersiapkan diri menghadapi urusan besar yang sudah menantinya sehingga siap mengemban amanah yang agung, merubah wajah bumi dan meluruskan garis sejarah. Uzlah yang sudah diatur oleh Allah ini terjadi 3 tahun menjelang beliau diangkat sebagai rasul. Beliau menjalani uzlah selama sebulan dengan semangat hidup yang penuh kebebasan & merenungi keghaiban yang tersembunyi di balik kehidupan tersebut hingga tiba waktunya untuk berinteraksi dengannya saat Allah memperkenankannya (Kisah aslinya dapat dilihat pada Shahih Al-Bukhari, Jld. 3; Sirah Ibnu Hisyam, op.cit., 1/235-236).

|Baca juga: Keistimewaan Sebelum Kenabian

Ketika masa kenabian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebentar lagi tiba, di kalangan bangsa-bangsa lain, telah tersebar berita bahwa Allah Ta’ala akan mengutus seorang Nabi pada zaman ini dan masa itu telah dekat. Mereka yang mempunyai kitab mengenal hal tersebut dari kitab mereka. Sementara yang tak berkitab, mereka mengenalnya dari tanda-tanda lain.

Ibnu Ishak berkata,
“Para pendeta dari Yahudi (Al-Ahbar) dan para pendeta dari Nasrani (Ar-Ruhban) & dukun-dukun dari kalangan Arab, mereka semua telah ramai membicarakan Nabi terakhir menjelang kedatangannya. Adapun pada pendeta Yahudi dan Nasrani sumber berita mereka adalah berdasarkan pesan-pesan dari kitab mereka tentang ciri-ciri nabi itu dan ciri-ciri zaman ketika nabi itu akan diutus. Adapun para dukun, maka sumber beritanya adalah para jin yang telah menguping dan merekalah yang memberitahukan kepada para dukun itu. Dukun wanita dan laki-laki selalu menyebut hal itu, tetapi bangsa Arab tidak menghiraukannya hingga Allah mengutus Nabi itu, dan apa yang mereka sebutkan itu ternyata benar terbukti. Maka pada saat itulah, bangsa Arab baru menyadarinya.” (Lihat Ibnu Hisyam, As-Sirah An-Nabawiyah, 1/221).

Di antara yang selalu dibicarakan oleh orang-orang Yahudi & Nasrani mengenai Nabi adalah riwayat yang menjelaskan bahwa seorang Yahudi dari tetangga Bani Abdu Al-Asyhal di Madinah, dia bercerita kepada mereka tentang hari kebangkitan, perhitungan, timbangan, surga dan neraka. Warga Madinah mengingkarinya dan meminta tanda dan buktinya, hingga orang Yahudi itu berkata, “Akan datang seorang Nabi yang diutus dari sekitar wilayah ini”, sambil menunjuk ke arah Yaman dan Makkah.[1]

Kisah Ibnu Al-Haiban yang telah datang dari Syam menuju Madinah beberapa tahun menjelang kenabian, dia menjelaskan kepada orang Yahudi di Madinah tentang sebab kedatangannya yaitu karena memperkirakan akan datangnya seorang Nabi yang akan dia ikuti, kemudian mengajak orang Yahudi untuk mengikutinya.[2]

Kisah Salman Al-Farisi yang datang dari Persia mencari agama yang benar, hingga pendeta memberikan petunjuk tentang tempat akan diutus & telah dekatnya masa itu.[3]

Ibnu Katsir rahimahullah berkata,
“Ulama berbeda pendapat tentang ibadah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebelum kenabian apakah sesuai dengan syariat atau tidak, kalau sesuai, maka syariat itu bentuknya apa? Ada yang mengatakan sesuai dengan syariat Nabi Nuh, ada yang mengatakan sesuai dengan syariat Nabi Ibrahim dan itulah yang lebih dekat dan lebih kuat. Ada yang mengatakan sesuai dengan syariat Nabi Musa, ada yang mengatakan sesuai dengan syariat Nabi Isa, ada yang mengatakan bahwa semua yang dia ketahui bahwa itu adalah pernah disyariatkan, maka dia ikuti & amalkan.” (Ibnu Katsir, Al-Bidayah Wan-Nihayah, 3/6).

Al-Ghazali berkata, 
“Sesungguhnya ada pertanyaan tentang bentuk ibadah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebelum diangkat menjadi Nabi, apakah mengikuti salah satu dari syariat nabi-nabi sebelumnya? Ada yang berkata, “Beliau tidak ber-ta’abbud.” Kemudian di antara mereka, ada yang menisbahkan kepada Nabi Nuh ‘alaihissalam, ada juga kelompok yang menisbahkan kepada Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, ada juga yang menisbahkan kepada Nabi Musa ‘alaihissalam, ada juga kelompok yang menisbahkan kepada Nabi Isa ‘alaihissalam, dan yang menjadi pilihan adalah semua kemungkinan tersebut sah-sah saja secara logika. Namun, yang benar-benar terjadi dari padanya tidak bisa diketahui secara pasti. Melontarkan persang-kaan dalam hal yang tidak ada kaitannya sekarang ini dengan ibadah amaliah adalah tidak memiliki makna.”[4]

Syaikh Utsaimin rahimahullah berkata, 
“Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam naik ke Gua Hira’ kemudian ber-takhannuts dan beribadah kepada Allah Azza wa Jalla sesuai dengan yang Allah berikan petunjuk kepadanya.” (Ibnu Utsaimin, Tafsir Juz ‘Amma, hal. 256).

Meskipun kita sudah mengutip panjang lebar dari perkataan ulama dalam masalah ini, tetapi saya memandang bahwa pendapat yang benar adalah pandangan Al-Ghazali rahimahullah bahwa menyibukkan diri dalam mengkaji masalah yang tidak ada dalilnya dan tidak ada kaitannya amaliyah adalah tidak ada maknanya. Cukuplah dalam masalah ini apa yang dikatakan oleh Syaikh Utsaimin bahwa dia beribadah sesuai bimbingan Allah kepadanya (Fikih Sirah Nabawiyah).

“Hikmah & Pelajaran”

  1. Bahwa kedatangan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah dibicarakan dan dinanti oleh sebagian orang, itu terjadi melalui dua hal;
    • Wahyu, Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa ‘alaihissalam dan Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa ‘alaihissalam. Keduanya telah menyebutkan ciri-ciri Nabi yang akan diutus dan ciri-ciri zaman kemunculannya, ditambah berita dari paranormal yang mendapat bocoran informasi dari jin.
    • Mengetahui kejadian yang sedang berlangsung dan membandingkannya dengan berita dari nash serta berita yang berasal dari paranormal yang dikemas dengan fakta-fakta yang terjadi memunculkan tanda-tanda yang menunjukkan telah dekatnya masa Nabi akhir zaman diutus, dan bahwa hasil pembocoran berita yang dibawakan oleh jin telah dibuktikan dengan kenyataan dan hal ini mengantarkan kita ke hikmah yang kedua dan yang ketiga.

  2. Pentingnya mengikuti kejadian yang sedang berlangsung dan mengaitkannya dengan nash-nash syar’i, kemudian mengambil pelajaran darinya dalam memprediksikan masalah yang akan datang, karena mereka yang memiliki pengetahuan dan mengikuti perkembangan berita, mereka itulah yang mengetahui dekatnya masa kedatangan Nabi akhir zaman. Sementara mereka yang tidak  mengikuti perkembangan dan tidak peduli dengan fenomena kejadian, mereka itulah yang menganggap masa kenabian sebagai kejadian yang mengagetkan dan asing.

  3. Bahwa apa yang kita rasakan sekarang ini, dari semakin banyaknya penganut agama Islam, semangat yang tinggi untuk mengenalnya & mengamalkan ajarannya adalah bukan sesuatu yang kebetulan. Sebagaimana Yahudi dan Nasrani serta para paranormal mengenal masa kenabian, kita juga menemukan orang yang menulis fenomena maraknya manusia dewasa ini untuk mengenal Islam bukanlah termasuk meraba-raba perkara ghaib, tetapi pengamatan dan penelitianlah yang mengantar mereka sampai kepada prediksi itu.

  4. Pentingnya khalwat (menyendiri) dalam kehidupan seorang muslim, menyendiri, menginstropeksi diri, merenungi ketidakberdayaannya di hadapan kekuasaan Allah, dan ber-tafakkur tentang alam semesta ini, dengan berupaya mengambil 2 pelajaran utama dari penyendirian itu;
    • Mengenal kekurangan diri seperti ‘ujub (menyombongkan kebaikannya), kibir (merendahkan orang lain), dengki, riya dan lain-lain, kemudian beristighfar, bertaubat, dan kembali kepada Allah Ta’ala.
    • Berdzikir kepada Allah Ta’ala dan mendekatkan diri kepada-Nya, serta mengingat surga dan neraka serta hari akhirat, dan perjalanan akhir seorang manusia, dan hal-hal lainnya yang bisa mengantarkan kepada ketaatan, dan jauh dari kemaksiatan.

  5. Apa yang dimaksud dengan khalwat (menyendiri) ini?
    Yang dimaksud dengan menyendiri yang dianjurkan adalah meluangkan waktu untuk beribadah kepada Allah, dan menjadikan ibadah ini sebagai sarana untuk menambah ketaatan dan untuk menghadapi rintangan-rintangan kehidupan dunia. 
    Beliau menyendiri di gua Hira sebelum masa kenabian. Adapun setelah kenabian, maka bentuknya berubah dan caranya berganti dengan bentuk shalat tahajjud, qiyamullail tatkala manusia tidur. Sebelumnya, shalat tahajjud adalah sebuah kewajiban bagi Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan umat Islam, kemudian berubah menjadi mustahab (disunnahkan) bagi umat Islam.[5]
    Khalwat yang dimaksudkan di sini bukan khalwat model shufiyah dan cara-caranya yang menyimpang, melainkan bangkit untuk shalat malam tatkala manusia tidur dan saat Allah Ta’ala turun seperti yang disabdakan dalam hadits riwayat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah Ta’ala turun setiap malam ke langit bumi pada waktu sepertiga malam terakhir kemudian berkata, “Siapa yang minta kepada-Ku, maka akan Aku penuhi permintaannya, siapa yang memohon kepada-Ku, maka akan Aku berikan permintaannya, dan siapa yang beristighfar, maka Aku ampuni dosanya” (Shahih Muslim, 1/521, hadits nomor 758).

    Allah Ta’ala berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلْمُزَّمِّلُ

قُمِ ٱلَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا

نِّصْفَهُۥٓ أَوِ ٱنقُصْ مِنْهُ قَلِيلًا

أَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ ٱلْقُرْءَانَ تَرْتِيلًا

إِنَّا سَنُلْقِى عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيلًا

Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk shalat) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit. atau lebih dari seperdua itu. dan bacalah Al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu Perkataan yang berat.” (Qur’an surat Al-Muzzammil ayat 1-5 | 73:1-5).

FOOT NOTES:
[1] Lihat Ibnu Hisyam, As-Sirah An-Nabawiyah, 1/232, Ibnu Ishak mengatakan bahwa itu adalah hadits. Lihat Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 3/417-418, Dia berkata, “Shahih berdasarkan syarat Muslim, Adz-Dzahabi dalam at-Talkhis menyetujuinya.”
[2] Lihat Ibnu Hisyam, As-Sirah An-Nabawiyah, 1/232-232 Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa An-Nihayah, 2/310.
[3] Lihat Ibnu Hisyam, As-Sirah An-Nabawiyah, 1/234.
[4] Al-Ghazali, Al-Mushtashfa’ 1/132. Cetakan I Mesir, Maktaba Tijariah 1356H.
[5] Lihat Al-Qurthubi, Al-Jami’ Liahkami Al-Qur’an, 19/34, As-Siba’i, As-Sirah An-Nabawiyah, pelajaran dan hikmah, hal. 41.

Diringkas dari Sumber Buku:
Ar-Rahiq al-Makhtum (Sirah Nabawiyah Perjalanan Hidup Rasul yang Agung Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, edisi revisi); Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri (Penerbit Darul Haq, Jakarta).
Fikih Sirah Nabawiyah; Prof. Dr. Zaid bin Abdul Karim Az-Zaid (Penerbit Darus Sunnah, Jakarta)

Nantikan Episode selanjutnya ya. in syaa Allah kita semua diberi rizki umur dalam keberkahan. Aamiin.
Mari bersholawat atas Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mari mempelajari perjalanan hidup suri teladan kita Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

The Habaib – Media Islam dan Kajian Online

Artikel atau Video dapat Follow | Like | Subscribe | Share
📷Instagram: @thehabaib
📲 Telegram : @thehabaib
📑 Facebook: thehabaib
▶️ Youtube: thehabaib

Leave a Reply

*