Tanggung jawab pengurusan siqayah dan rifadah sepeninggal Hasyim diserahkan kepada saudaranya yaitu Al-Muththalib bin ‘Abdu Manaf.
|Baca juga : Bangsa Arab di Masa Jahiliyah
Ketika Syaibah menginjak usia 7 tahun/8 tahun lebih, Al-Muththalib, pamannya mendengar berita tentang dirinya, lantas pergi mencarinya. Ketika bertemu dan melihat Syaibah, berlinanglah air mata Al-Muththalib, lalu anak tersebut dipeluk erat-erat dan dinaikkan ke atas tunggangannya untuk dibonceng namun keponakannya ini menolak hingga diizinkan dahulu oleh ibunya. Al-Muththalib kemudian memintanya agar merelakan keponakannya tersebut pergi bersamanya, tetapi ibunya menolak. “Sesungguhnya dia akan berangkat menuju tahta ayahnya (Hasyim), Menuju tanah Haram.”, kata Al-Muththalib. Barulah kemudian ibunya mengizinkan anaknya dibawa.
Al-Muththalib membawa Syaibah ke Makkah dengan memboncengnya di atas unta. Melihat hal itu, masyarakat Makkah berteriak, “Inilah Abdul (budak) Muththalib!” (maksudnya mereka mengira yang dibawa Al-Muththalib adalah budaknya). Al-Muththalib memotong sembari berkata, “Celakalah kalian! Dia ini anak saudaraku, Hasyim”. Abdul Muththalib akhirnya tinggal bersama pamannya hingga dewasa.
Selanjutnya Al-Muththalib meninggal di Rodman, Sebuah Kawasan di Yaman dan kekuasaannya kemudian beralih kepada keponakannya, Abdul Muththalib. Dia menggariskan kebijakan terhadap kaumnya persis seperti yang digariskan oleh nenek-nenek moyangnya terdahulu, akan tetapi dia mendapatkan kedudukan dan martabat di hati kaumnya yang belum pernah dicapai oleh nenek-nenek moyangnya terdahulu, dia dicintai oleh mereka dan wibawanya di hati mereka semakin besar.
Ketika Al-Muththalib meninggal dunia, Naufal merampas kekuasaan keponakannya tersebut. Karena itu, dia meminta pertolongan ke para pemuka Quraisy untuk membantunya melawan sang paman. Namun mereka menolak sembari berkata, “Kami tidak akan mencampuri urusanmu dengan pamanmu itu.”
Akhirnya Abdul Muththalib menulis untaian syair kepada paman-paman dari pihak ibunya, Bani An-Najjar, guna memohon bantuan mereka. Pamannya, Abu Sa’ad bin Adi bersama 80 orang pasukan penunggang kuda kemudian menuju Makkah dan singgah di Al-Abthah, sebuah tempat di Makkah. Dia disambut oleh Abdul Muththalib, “Silahkan mampir ke rumah dahulu, wahai paman!”, Kata Abdul Muththalib. “Demi Allah aku tidak akan mampir hingga bertemu dengan Naufal”, kata pamannya. Lantas dia mendatanginya & mencegatnya yang ketika itu sedang duduk-duduk di dekat Hijr Ismail bersama para sesepuh Quraisy. Abu Sa’ad langsung menghunus pedangnya seraya mengancam, “Demi Rabb rumah ini (Ka’bah)! Jika engkau tidak mengembalikan kekuasaan keponakanku maka aku akan menancapkan pedang ini ke tubuhmu”. “Aku serahkan kembali kepadanya!“, kata Naufal.
Ucapannya ini disaksikan oleh para sesepuh Quraisy tersebut. Kemudian barulah dia mampir ke rumah Abdul Muththalib & tinggal selama tiga hari. Selama di sana, dia melakukan umrah (ala kaum Quraisy dahulu sebelum kedatangan Islam) kemudian pulang ke Madinah.
Menyikapi kejadian yang dialaminya tersebut, Naufal akhirnya bersekutu dengan Bani Abdi Syamas bin Abdi Manaf untuk menandingi Bani Hasyim. Suku Khuza’ah tergerak juga untuk membela Abdul Muththalib setelah melihat pembelaan dari Bani An-Najjar terhadapnya. Mereka berkata (kepada Bani An-Najjar), “Kami juga melahirkannya (yakni, keturunan kami juga) seperti kalian, namun kami justru lebih berhak untuk membelanya”. Hal ini lantaran ibu dari Abdi Manaf merupakan salah satu keturunan mereka. Mereka lalu memasuki Darun Nadwah dan bersekutu dengan Bani Hasyim untuk melawan Bani Abdi Syams dan Naufal.
FOOT NOTES:
“AL-FAYYADH”
Al-Muththalib bin Abdu Manaf, dia adalah seorang bangsawan yang disegani dan memiliki kharisma di kalangan kaumnya. Orang-orang Quraisy menjulukinya dengan Al-Fayyadh karena kedermawanannya. Sebab makna kata Al-Fayyadh adalah orang yang dermawan, murah hati.
“DARUN NADWAH”
Di antara peninggalan Qushay bin Kilab adalah Darun Nadwah yang didirikannya di samping utara Masjid Ka’bah (Masjidil Haram), dan menjadikan pintunya mengarah ke masjid. Darun Nadwah merupakan tempat berkumpul orang-orang Quraisy yang di dalamnya dibahas rincian tugas-tugas mereka. Ia merupakan tempat yang meninggikan martabat Quraisy karena dapat menjamin kata sepakat di antara mereka & menyelesaikan sengketa dengan baik. Darun Nadwah dikepalai langsung oleh Qushay bin Kilab.
Diringkas dari Sumber Buku:
– Ar-Rahiq al-Makhtum (Sirah Nabawiyah Perjalanan Hidup Rasul yang Agung Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, edisi revisi); Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri (Penerbit Darul Haq, Jakarta).
Ada dua momentum peristiwa besar yang terjadi pada saat masa kepemimpinan Abdul Muththalib di Makkah, yang di mana peristiwa tersebut berkaitan dengan Baitullah. Nantikan Episode selanjutnya ya. in syaa Allah kita semua diberi rizki umur dalam keberkahan. Aamiin. Mari bersholawat atas Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mari mempelajari perjalanan hidup suri teladan kita Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Thehabaib.com – Media Islam dan Kajian Online