Sebagai umat Islam, kita telah mengetahui bahwa agama kita mengajarkan untuk menunaikan amanat yang kita terima dari orang lain. Bahkan, Islam mewajibkan kita untuk memelihara amanat, yaitu dengan bersikap jujur dan bisa dipercaya. Lihatlah perintah Allah Ta’ala untuk menunaikan amanat:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya.(QS.An-Nisa’ Ayat 58)
Pengertian Amanat menurut Syaikh As Sa’di rahimahullah, ia berkata,
“Amanat adalah segala sesuatu yang diemban oleh seseorang yang diperintahkan untuk ditunaikan. Para ahli fiqih menyebutkan bahwa orang yang dibebankan amanat, hendaklah ia benar-benar menjaganya. Mereka berkata bahwa seseorang tidak disebut menunaikan amanat melainkan dengan menjaganya, dan hukumnya adalah wajib.”
Allah Ta’ala memerintahkan agar amanat itu disampaikan kepada yang berhak menerimanya. Di dalam hadist Al-Hasan, dari Samurah, disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَدِّ الْأَمَانَةَ إِلَى مَنْ ائْتَمَنَكَ وَلَا تَخُنْ مَنْ خَانَكَ
Tunaikanlah amanat kepada orang yang memberi kepercayaan kepadamu dan janganlah engkau mengkhianati orang yang mengkhianatimu (HR Tirmidzi 1185)
Makna hadist ini umum mencakup semua jenis amanat yang diharuskan bagi manusia menyampaikannya. Amanat tersebut antara lain yang menyangkut hak-hak Allah Ta’ala atas hamba-hamba-Nya. Seperti shalat, zakat, puasa, kifarat, semua jenis nazar, dan lain sebagainya yang semisal yang dipercaya kan kepada seseorang walau tiada seorang hamba pun yang melihatnya.
Begitu juga amanat kepada mahluk Allah. Maka Allah Ta’ala memerintahkan agar hal tersebut ditunaikan kepada yang berhak menerimanya. Barang siapa yang tidak melakukannya, maka ia akan dituntut nanti di hari kiamat. Sebagaimana yang disebutkan di dalam sebuah hadist sahih, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَتُؤَدُّنَّ الْحُقُوقَ إِلَى أَهْلِهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُقَادَ لِلشَّاةِ الْجَلْحَاءِ مِنْ الشَّاةِ الْقَرْنَاءِ
Semua hak itu pasti akan dipenuhi pada hari kiamat kelak, hingga kambing bertanduk pun akan dituntut untuk dibalas oleh kambing yang tidak bertanduk.( Shahih Muslim 4679)
Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. (QS. Al-Anfal ayat 27)
Seperti yang telah disebutkan dalam ayat diatas, Amanat dalam Islam dibagi menjadi 3 tingkatan, yaitu:
1. Amanat Dari Allah Ta’ala
Allah menciptakan manusia tidak lain hanyalah untuk beribadah kepada-Nya. Maka, kita diberi amanat untuk menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Kita wajib mentauhidkan Allah dan hanya beribadah kepada Allah. Dengan demikian, mengkhianati Allah dengan berbuat syirik dan menyekutukan Allah merupakan perbuatan yang terlarang. Amanat ini merupakan amanat yang paling besar yang kita terima. Oleh karena itu, kedudukan amanat ini ada di atas semua hal lainnya. Tidak boleh kita mendahulukan amanat lainnya yang bisa mengganggu kita dalam menunaikan amanat dari Allah ini.
2. Amanat Dari Rasullulah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Di antara hak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah mencintai beliau. Cinta di sini adalah mencintai beliau lebih dari diri sendiri, orang tua, anak, dan orang selainnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
Tidak (sempurna) keimanan salah seorang di antara kalian sampai aku lebih dia cintai dari orang tuanya, anaknya, dan seluruh manusia.
Ketika Umar radhiallahu ‘anhu berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ لَأَنْتَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ إِلَّا مِنْ نَفْسِي
Wahai Rasulullah, sungguh engkau paling aku cintai dari segala sesuatu kecuali diriku
Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menanggapi,
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ عِنْدَهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ نَفْسِهِ
Tidak sempurna keimanan salah seorang di antara kalian sampai aku menjadi orang yang paling dia cintai, termasuk dari dirinya sendiri
Umar menjawab,
فَلَأَنْتَ الْآنَ وَاللَّهِ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ نَفْسِي
Sekarang, demi Allah, Anda yang paling saya cintai termasuk dari diri saya sendiri
Beliau menjawab,
الْآنَ يَا عُمَرُ
Sekarang wahai Umar (imanmu sempurna)
Di antara bentuk amanat terhadap hak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah melaksanakan perintahnya dan menjauhi larangannya, membenarkan apa yang beliau kabarkan, memuliakannya tanpa berbuat ghuluw kepada beliau. Inilah amanat yang kita emban terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
3. Amanat Dari Manusia Lainnya
Untuk amanat yang ketiga ini mudah kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai manusia kita mengemban amanat sebagai pemimpin di muka bumi, minimal memimpin diri kita sendiri. Kita juga berinteraksi dengan manusia lainnya yang akan membawa kita memikul amanat lainnya, seperti kepercayaan, janji, atau pun tanggung jawab lainnya.
Jika diberikan suatu amanat, janganlah berkhianat. Wajib baginya untuk menunaikan amanat tersebut dengan semampunya, kecuali jika ada udzur Syar’i. Hadits dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أَدِّ الأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ
Tunaikanlah amanat kepada orang yang menitipkan amanat padamu”( HR. Abu Daud no. 3535 dan At Tirmidzi no. 1624, hasan shahih)
Ketahuilah bahwa orang yang berkhianat terhadap amanat pun menyandang salah satu sifat munafik. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
Tiga tanda munafik adalah jika berkata, ia dusta; jika berjanji, ia mengingkari; dan ketika diberi amanat, maka ia ingkar.( HR. Bukhari no. 33 dan Muslim no. 59)
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits ini menerangkan tanda munafik, yang memiliki sifat tersebut berarti serupa dengan munafik atau berperangai seperti orang munafik. Karena yang dimaksud munafik adalah yang ia tampakkan berbeda dengan yang disembunyikan. Pengertian munafik ini terdapat pada orang yang memiliki tanda-tanda tersebut”.
Sufyan As-Sayri meriwayatkan dari Ibnu Abu Laila, dari seorang lelaki, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa amanat ini bermakna umum dan wajib ditunaikan terhadap semua orang, baik yang bertakwa maupun yang durhaka. Abul Aliyah mengatakan bahwa amanat itu ialah semua hal yang mereka diperintahkan untuk melakukannya dan semua hal yang dila rang mereka mengerjakannya Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Menunaikan amanat yang dimaksudkan adalah umum mencakup segala yang diwajibkan pada seorang hamba, baik hak Allah atau hak sesama manusia”.
Bahkan jika kita menjadi seorang pemimpin, benar-benar kita harus memegang amanat karena banyak pemimpin yang hanya mengingkari janji-janjinya. Abu Dzar berkata: “Pada suatu malam aku menyendiri bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga waktu subuh, lalu aku berkata: ‘Wahai Rasulullah, berilah aku perintah (jabatan)! ‘ Beliau menjawab:,
إِنَّهَا أَمَانَةٌ وَخِزْيٌ وَنَدَامَةٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَّا مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا
Sungguh, itu adalah amanat, kehinaan dan penyesalan di hari kiamat kecuali bagi orang yang mengambil sesuai dengan haknya, lalu menunaikan apa yang ada padanya
Demikianlah penjabaran tiga tingkatan amanat dalam islam yang wajib di emban oleh seorang muslim, dan tiap tingkatan memiliki faktor prioritas sehingga tidak mungkin prioritas paling rendah naik menjadi paling tinggi dan begitu juga sebaliknya.
- Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, Taisirul Kariimir Rahman fi Tafsiiri Kalamil Mannan,(Cet II, Riyadh, Daarus Salam, 1422H), Jil. 1, Hlm. 198.
- Abi ‘Isa Muhammad bin ‘Isa Saurah al-Matauf, Sunan Tirmidzi, Beirut: Dar el-Fikr, 2003
- An-Nawawi, Imam, Shahih Muslim bi Syarh An-Nawawi, Terj. Wawan Djunaedi Soffandi, “Syarah Shahih Muslim”, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2010) ,
- Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Beirut: Maktabah al-‘Isriyah,( t.t).
- Abu Abdillah Muhammad Ibn ‘Isma’il Al-Bukhary, Shahih Bukhary, Beirut: Daar Ibn Katsir, 1407 H/ 1987.
- An-Nawawi, Imam, Shahih Muslim bi Syarh An-Nawawi, Terj. Wawan Djunaedi Soffandi, “Syarah Shahih Muslim”, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2010) Jilid 2: 47.
- Al-Imam Abul Fida Isma’il Ibnu Katsir ad-Dimasyqi, Terjemah Tafsir Ibnu Katsir, Juz 5,(Bandung: Sinar Baru al-Gensindo, 2002) Jil 4, Hlm. 124.
The Habaib – Media Islam dan Kajian Online